Kita kerap merasa tertinggal dari teman dalam berbagai hal. Pikiran ini pun membuat kita tidak bahagia dan stres.

Dengan adanya media sosial, sulit kiranya untuk tidak memperhatikan capaian-capaian yang kerap diunggah orang lain.

Mengenai fenomena tersebut, ada penelitian terbaru berjudul: “The Positive Side of Social Comparison on Social Network Sites: How Envy Can Drive Inspiration” (Sisi Positif Perbandingan Sosial di Situs Jejaring Sosial: Bagaimana Iri Dapat Mendorong Inspirasi).

Penelitian tersebut menjawab bagaimana kita bisa mendapatkan manfaat positif dari rasa kompetisi yang ada di media sosial. Tidak hanya itu, penelitian tersebut juga memberi kita cara untuk menghilangkan rasa tidak aman (insecurity) yang kerap kita pikirkan tentang masa depan karier kita.

Jika kamu merasa tertinggal dari teman, yuk coba 5 cara ini supaya merasa lebih baik.

Sadari pemicu

Pikiran stres karena merasa tertinggal dari teman bisa muncul dalam berbagai bentuk.

Misalnya, ketika atasan kita memberi pujian kepada rekan kerja atau ketika kita melihat pencapaian teman di media sosial.

Di tahap ini, kita bisa menelusuri apa yang menjadi pemicu perasaan itu. Apa yang membuat kita tidak enak hati? Apa pyang membuat kita merasa rendah diri ketika melihat pencapaian seseorang di media sosial?

Perasaan ini umum dan kamu tidak sendiri. Sebuah penelitian menyatakan bahwa menggunakan media sosial dapat memperburuk bias negatif kita, karena kita lebih menekankan pada pengalaman negatif ketimbang pengalaman positif.

Media sosial dapat menjadi wadah hiburan, tetapi bisa juga sebaliknya. Maka, penting bagi kita untuk menyadari mana yang jadi pemicu perasaan tertinggal kita.

Jangan reaktif, terimalah

Ketika pemicu rasa tertinggal dari teman sudah kita temukan, hal selanjutnya mungkin kita akan selalu menghindar.

Semisal, kita memblokir akun media sosial teman atau menghindar tiap ada atasan supaya kita tidak mendengarnya memuji rekan kerja kita.

Hal ini tidak bisa dihindari. Sebab, tidak mungkin jika kita berharap bahwa suatu waktu nanti mereka tiba-tiba akan sadar, seperti: “Saya tidak akan mengunggah pencapaian apa pun lagi di media sosial,” atau, “Saya akan berhenti memuji satu orang dan saya akan memuji semua pekerja saya supaya semua merasa diapresiasi.”

Lalu apa yang harus kita lakukan? Terimalah, karena kenyataan itu tidak bisa dihindari. Namun kita bisa mengubah posisi dan perasaan kita.

Ketika melihat pencapaian orang lain, posisikan diri kita sebagai pengamat. “Apa yang membuat dia mencapai tujuannya?” Buatlah diri kita seobjektif mungkin. Hindari prasangka dan dugaan.

Jika stres dan ketidaknyamanan masih dirasakan, maka beristirahatlah. Namun, kita tetap masih bisa belajar sesuatu dari mereka.

Ketimbang berkata, “Seandainya saya … ,” ubahlah menjadi, “Apa yang bisa saya lakukan untuk mencapai/mendapatkan … ?”

Mulai beraksi

Selama fase menerima, kita belajar untuk memahami diri sendiri. Dengan pemahaman ini, kita akan belajar mengenali mana yang menjadi potensi diri kita.

Di sinilah potensi ini dapat kita kembangkan. Mulailah tunjukkan ketangguhan kita.

Sebagai permulaan, buatlah capaian yang terukur. Dimulai dari tantangan kecil, lalu kembangkan menjadi semakin besar.

Percayalah, semua pekerjaan yang kita lakukan dengan hati akan lebih berharga dan bermakna.

Perluas koneksi

Mengapa kita perlu memperluas koneksi? Ketika kita membandingkan diri dengan kelompok yang serupa dengan kita, maka hanya akan ada dua perasaan: tertinggal atau lebih maju.

Orang-orang sangat bermacam-macam. Ketika melihat dunia sehitam-putih itu, maka kita perlu memperluas perspektif.

Di posisi ini, dengan memperluas koneksi, kita akan mendapatkan sudut pandang dan perspektif baru dalam menjalani kehidupan.

Langkah ini merupakan cara menetralkan rasa sakit yang timbul ketika ada rasa tertinggal dari teman kita.

Bebaskan ekspektasi kita

Ada kepercayaan yang membahayakan dan kita sering tidak menyadarinya.

Yaitu bahwa kita tidak hanya harus mengungguli rekan kerja kita, tetapi juga menginginkan semua hal yang telah dan ingin mereka raih.

Kepercayaan ini menjadi kekangan tanpa akhir dan kompetisi tidak sehat yang tak pernah selesai.

Mengapa? Karena ekspektasi atau harapan kita terus berubah mengikuti apa yang juga ingin dicapai rekan kerja kita.

Di sinilah kebebasan kita hilang. Secara tidak sadar, obsesi itu justru membuat kita terus membuntut di belakang mereka.

Percayalah bahwa semua yang kita lakukan hingga hari ini adalah hal yang benar dan sesuai. Ke mana pun kita pergi, di sanalah kita berada.

Segala hal memang tampak rumit. Namun tidak ada salahnya untuk beristirahat sejenak. Bebaskan ekspektasi kita sebebas mungkin. Ikuti ke mana ia membawa kita.

Baca juga:

Kenali Ciri-ciri Ini untuk Mengetahui Kepribadian Gelap Seseorang

Sudahkah Kalian Memiliki 5 Komponen Kecerdasan Emosional Ini?

 

RUJUKAN:

Harvard Business Review

SAGE Journals

Sumber gambar: Unsplash

Leave your vote

1 point
Upvote Downvote

Total votes: 1

Upvotes: 1

Upvotes percentage: 100.000000%

Downvotes: 0

Downvotes percentage: 0.000000%

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*

Hey there!

Sign in

Forgot password?

Don't have an account? Register

Close
of

Processing files…