SUMBER: KOMPAS.com

Siapa yang tak punya kampung halaman. Semua orang tentunya punya kampung halaman yang jadi tanah dan tempat kelahirannya. Kemanapun pergi, tentu akan merindukan kampung halaman yang dicintainya. Kecintaan akan kampung halaman ini pula yang membuat Opik (33), membentuk Komunitas Ngejah. Lewat komunitas ini, Opik membangun gerakan literasi, yakni Gerakan Kampung Membaca dan Pojok Baca.

Opik, Presiden Komunitas Ngejah menceritakan, komunitas ini didirikan atas kegelisahannya melihat kondisi kampung halamannya yang jauh tertinggal secara ekonomi, pendidikan, hingga teknologi.Untuk sampai ke kampungnya ini, dibutuhkan lebih dari tiga jam perjalanan dari Kota Garut dengan kontur jalan naik turun bukit.

Kampung Cicampaka, Desa Sukawangi, merupakan desa terujung di Kabupaten Garut. Kampung tersebut perbatasan Taraju dan Bojonggambir Kabupaten Tasikmalaya.

Namun, jika menempuh perjalanan dari Kota Tasikmalaya pun, waktu yang ditempuh tidak jauh beda dengan kondisi jalan yang sama pula. Sebenarnya, Opik bisa saja keluar dari kampung halamannya dan tinggal di Kota Tasikmalaya yang jadi tempatnya menuntut ilmu seusai menamatkan SMA di Kecamatan Taraju.

“Sebenarnya berat balik ke kampung, karena di Tasik saya punya banyak teman dari mulai sastrawan, jurnalis, dan dari berbagai komunitas,” tuturnya.

Namun, Opik meneguhkan hati untuk pulang dan membangun kampung halamannya. Padahal saat itu ia belum tahu pasti akan berbuat apa untuk membangun kampung halamannya. Yang ia yakini, harus mengangkat masyarakat dari berbagai ketertinggalan.

“Saya juga teringat akan sajak karya WS Rendra yang berjudul “Seonggok Jagung” yang bait terakhirnya sangat menginspirasi saya untuk pulang membangun kampung halaman,” katanya.

Budaya Membaca

Tahun 2005, setelah menyelesaikan jenjang kuliah D2, benih-benih pemikiran gerakan membangun kampung halaman muncul dalam diri Opik. Saat itu, ia menyadari pentingnya membaca. Padahal, sejak SD hingga SMA, dirinya sama sekali tidak suka membaca buku.

Opik baru mulai membaca buku begitu meneruskan kuliah di Tasikmalaya. Dari aktivitasnya membaca pula pola pikirnya berubah hingga tumbuh kesadaran dalam dirinya untuk mendobrak ketertinggalan kampung halamannya dengan gerakan membaca.

“Pendiri bangsa ini juga orang yang gila membaca. Soekarno bertemu dengan pemikiran tokoh-tokoh dunia lewat buku. Saat sakit pun tetap membaca buku. Bung Hatta juga sama. Dalam pengasingan peti-peti berisi buku yang dibawanya. Mahar pernikahannya pun buku. Saya jadi makin sadar, semua orang hebat, punya kebiasaan membaca yang kuat,” katanya.

Menyadari pentingnya membaca, Opik berniat membangun sebuah perpustakaan di kampung halamannya. Sejak sat itu, ia menyisihkan uang untuk membeli berbagai buku bacaan. Bahkan ketika ia mulai mengajar dan menjadi PNS di tahun 2009, buku yang dibeli untuk koleksinya makin banyak.

“Saat itu, saya lebih banyak belanja buku daripada membacanya. Karena saya ingin menabung buku meski tidak banyak,” tuturnya.

Dari hasil menabung buku, Opik berhasil mengumpulkan sekitar 3.000 buku dengan berbagai judul. Saat itulah, ia memberanikan diri membuka perpustakaan kecil di rumahnya. Perpustakaan inilah yang jadi embrio lahirnya Komunitas Ngejah.

Untuk cerita selengkapnya, silakan mengunjungi:

http://regional.kompas.com/read/2017/08/04/14221011/komunitas-ngejah-bangun-kampung-halaman-dari-gerakan-literasi-2-

Leave your vote

0 points
Upvote Downvote

Total votes: 0

Upvotes: 0

Upvotes percentage: 0.000000%

Downvotes: 0

Downvotes percentage: 0.000000%

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*

Hey there!

Sign in

Forgot password?

Don't have an account? Register

Close
of

Processing files…