Kala Al-Qaeda menginvasi Mali dan Timbuktu pada tahun 2012, di antara yang menjadi target pada penyerangan tersebut adalah manuskrip kuno yang tak ternilai harganya -dan akan dibakar. Tetapi akan kian memburuk bila saja tidak ada sosok seperti Abdel Kader Haidara, yang rela mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi karya-karya abad pertengahan. Ia dan beberapa kawannya berhasil menyelundupkan sekitar 350.000 manuskrip, membuktikan bahwa tidak hanya betapa banyaknya buku-buku yang bernilai, namun juga banyaknya orang-orang awam yang merasa perlu untuk menyelamatkan warisan berharga tersebut. Kisah ini merupakan kemenangan gemilang dari ancaman pembakaran buku.
Telah sejak lama buku dan perpustakaan menjadi target pemberangusan oleh orang-orang dari beragam latar belakang, di mana terkadang memang disengaja atau karena efek samping dari adanya perang. Pada tahun 213 SM, Kaisar China Qin Shi Huang (yang umumnya dikenal tentara terakotanya -tanah liat- di Xian) meminta sebuah api unggun dari buku sebagai bentuk pengerahan kekuatan massa di dalam kekaisarannya. Mengacu pada sejarawan Lois Mai Chan, “Tujuan dasar Huang bukan sepenuhnya untuk menghapuskan sumber-sumber pemikiran tersebut dan meletakannya di bawah kontrol pemerintah.” Buku-buku puisi, filsafat, dan sejarah merupakan target khusus, sehingga tidak ada yang dapat membandingkannya dengan para penguasa sukses terdahulu. Walaupun jumlah pasti informasi yang hilang tidak diketahui, Chan menulis bahwa tema sejarah adalah yang paling banyak hilang.
Qin hanyalah satu-satunya penguasa di zaman kuno yang merasa cukup terancam dengan ide-ide dalam bentuk tertulis sehingga mendekatkan perilaku bengis pembakaran buku. Dalam buku Sejarah Roma yang selesai ditulis oleh Titius Livy pada abad 1 M, ia menjelaskan bahwa penguasa di masa lampau yang meminta buku-buku berisi prediksi ramalan dan detail tentang perayaan seperti Bacchanalia dilarang dan dibakar untuk mencegah adanya kekacauan dan penyebaran kebiasaan asing; filsuf Giordano Bruno dan Jan Hus mengambil posisi melawan kebijakan gereja Katolik, di mana yang pertama masalah untuk karyanya tentang kosmologi Kopernikan dan kedua untuk menyerang praktik-praktik gereja yang melenceng. Seorang sarjana bernama Hans J. Hillerbrand menuliskan bahwa para eksekutor yang bertanggung jawab atas pembunuhan “orang sesat” macam Bruno dan Hus tidak berbeda dengan orang yang membakar karya-karya keduanya.

Namun untuk Rebecca Knuth, penulis Libricide: The Regime-Sponsored Destruction of Books and Libraries in the Twentieth Century dan Burning Books and Leveling Libraries: Extremist Violence and Cultural Destruction, Qin dan para pemimpin agama lainnya hanyalah sebagian kecil dari sejarah awal pembakaran buku. “Banyak buku kuno yang dibakar adalah sebuah fungsi penaklukan,” kata Knuth. Lihatlah contoh pembakaran paling terkenal, penghancuran Perpustakaan Alexandria. Bangunan dan isinya yang terkenal tersebut dibakar selama masa pergolakan politik, termasuk pada tahun 48 SM ketika Caesar mengejar Pompey ke Mesir dan ketika Khalifah Omar menyerang Alexandria pada tahun 640 M.
Apa yang telah mengubah segalanya adalah mesin cetak, yang ditemukan oleh Johannes Gutenberg pada tahun 1440. Tidak hanya membludaknya jumlah buku secara tiba-tiba, namun juga bertambahnya pengetahuan. “Dengan mesin cetak Anda dapat meningkatkan pertumbuhan literasi dan ilmu modern dan semuanya tentang ilmu,” kata Knuth. “Dan beberapa orang dalam rezim otoriter, dengan cara mereka ingin mengembalikan efek dari mesin cetak.”
Baca juga: Penemuan yang Mengubah Dunia, Buku: Sumber Referensi Pendidikan
Menurut Knuth, motif di balik pembakaran buku telah berubah sejak mesin cetak membawa Era Pencerahan ke permukaan -walaupun tindak pembakaran semakin bertambah akibat adanya perang (ingat soal penghancuran Perpustakaan Kongres Amerika selama perang tahun 1812 atau seluruh perpustakaan yang dihancurkan di Eropa selama Perang Dunia II). Orang-orang melihat pengetahuan sebagai sebuah cara mengubah kehidupannya, dan dunia, dan maka dari itu pengetahuan menjadi komoditas yang berbahaya, tidak lagi dikontrol secara eksklusif oleh para elit. Bagaimana cara terbaik untuk mengembalikan keseimbangan kekuasaan dan mengirimkan sebuah pesan di saat yang sama ketimbang membakar buku?
Garis besar yang dapat ditarik sebagai faktor di antara semua pelaku pembakaran buku di abad 20 ini, menurut Knuth, adalah bahwa pelaku pembakaran buku merasa dirinya sebagai korban, bahkan bila mereka adalah orang-orang yang berkuasa. Mungkin kasus pemberangusan buku yang paling populer adalah pembakaran buku yang dilakukan oleh Adolf Hitler dan tentara Nazi, yang kerap menempatkan diri mereka sebagai korban dari kejahatan kaum Yahudi. Lainnya yang serupa adalah ketika Mao Tse Tung (Mao Zedong) mengambil alih kekuasaan di China dan menerapkan pemberangusan pada Revolusi Budaya di mana buku-buku yang tidak sesuai dengan ideologi propaganda partai, seperti kapitalisme dan beberapa ideologi lain yang dianggap “berbahaya”, dibumihanguskan. Baru-baru ini, Perpustakaan Umum Jaffna di Sri Lanka -rumah bagi hampir 100.000 buku-buku langka sastra dan sejarah Tamil- dibakar oleh para penganut Buddha Sinhala. Orang-orang Sinhala tersebut merasa bahwa kepercayaan Buddha mereka berada sedang dihimpit ancaman para penganut Hindu Tamil, yang ironisnya, jumlah mereka lebih banyak ketimbang orang-orang Tamil.

Terlebih ketika kasusnya adalah bahwa pengetahuan itu sendiri tidak dicegah sampai ke publik, sehingga bobot buku yang dibakar juga cukup berat (karena bermacam-macam, tidak sejenis). “Buku bukanlah benar-benar benda mati, namun mengandung potensi kehidupan di dalamnya seaktif jiwa-jiwa yang menjadi keturunannya,” tulis John Milton, penulis Paradise Lost, di dalam bukunya Areopagitica yang terbit pada 1644. “Barang siapa yang membunuh manusia, ia pula membunuh ciptaan yang berakal… namun barang siapa yang menghancurkan sebuah buku, ia pula yang membunuh akal itu sendiri—” sebuah gagasan yang terus dianut dalam budaya modern, seperti ide yang ada dalam buku Ray Bradbury berjudul Fahrenheit 451.
“Sebuah buku ialah pistol berpeluru di rumah sebelah,” sebuah peringatan dari salah satu karakter di cerita Bradbury, yang mempertanyakan kepada para pembakar buku, mengapa mereka membakar buku dan melenyapkan pengetahuan. “Siapa pula yang tahu siapa yang menjadi target seorang kutu buku?”
Atau, seperti yang dikatakan penulis Barbara Tuchman dalam pidatonya di Perpustakaan Kongres pada tahun 1980, “Buku adalah pembawa peradaban. Tanpanya, sejarah itu sunyi, literatur berisi kebodohan, sains lumpuh, gagasan dan spekulasi diam di tempat. Tanpa buku, perkembangan peradaban tidak akan mungkin ada.”
Baca juga: Para Pelajar Italia Pilih Buku Adolf Hitler Sebagai Buku Favorit
Hari ini, dengan kecanggihan teknologi yang tersedia di internet, kemungkinan untuk mendigitalisasi dokumen tertulis kelihatannya dapat membuat keberadaan buku menjadi kekal. Nyatanya tidak secepat itu, ujar Knuth. “Kita memiliki teknologi untuk menyajikan sebanyak mungkin pengetahuan, (dan) kita hanya harus lebih berhati-hati. Sebab bila Anda tidak segera mengubahnya ke bentuk terkini dengan teknologi, tidak peduli berapa banyak pun salinannya apabila Anda tidak dapat mengaksesnya.”
Ini adalah sebuah masalah yang acapkali ditangani para pengarsip di Institut Smithsonian, termasuk arsip catatan elektronik Lynda Schmitz Fuhrig.
“Ada banyak perusahaan software yang telah berhenti maupun yang telah terhenti, dan beberapa dari software tersebut telah tidak digunakan lagi,” kata Schmitz Fuhrig. “Dan tidak hanya ada permasalahan tentang software, namun juga hardware dan sistem operasi yang mungkin tidak dapat beroperasi dengan jenis file yang lebih kuno.”
Para pengarsip mencoba menggunakan format yang telah ada sejak lama dan tetap bertahan, seperti PDF untuk dokumen, tetapi bahkan walaupun tetap mengikuti perkembangan teknologi, hal ini tidak menjamin semua file akan aman. Schmitz Fuhrig mengatakan, salah satu tantangan terbesar saat ini adalah ruang penyimpanan. “Beberapa tahun lalu kita sibuk membicarakan soal gigabytes dan kemudian terabytes dan sekarang kita memasuki era petabytes.”
Baca juga: Buku Ini Bukan Ditulis Manusia, Tapi Jadi Cikal Bakal Buku Masa Depan
Kendatipun teknologi ada, mentransfer dokumen tertulis ke arsip digital membutuhkan waktu dan uang—sumber daya yang tidak selalu tersedia. Sesekali melakukannya kerap bertentangan dengan siapa pun yang sedang berkuasa. Di bawah Presiden George W. Bush, perpustakaan EPA terancam ditutup pada tahun 2006, mendorong Asosiasi Perpustakaan Amerika dan para ilmuwan yang bekerja di EPA untuk menekan Kongres dalam memastikan anggaran EPA dapat menutupi biaya pemeliharaan perpustakaan (meskipun beberapa perpustakaan ditutup, mereka dibuka kembali pada September 2008). Atau lihatlah dokumen riset saintifik yang ditutup dan diberangus di bawah pemerintahan Stephen Harper di Canada pada tahun 2014, di mana hal ini merupakan usaha untuk mendinginkan topik yang sedang diteliti maupun studi yang diterbitkan. Seperti ilmuwan Steven Campana, yang telah menghabiskan beberapa dekade bekerja untuk Departemen Perikanan dan Kelautan Kanada, berkata pada Smithsonian.com, “Walaupun kami tetap menjaga pekerjaan kami, pada dasarnya kami dihambat melakukan apa pun yang berbau sains.” Kendati metode-metode dapat berbeda (dan kerap kurang terlihat) dibanding di masa lalu, hasilnya tetap sama: pengetahuan secara sengaja direnggut dari masyarakat.
Tanpa diragukan lagi teknologi mengubah cara kita berbagi dan menyimpan informasi, namun Knuth berargumen bahwa motif utama pembakaran buku, apapun tindakannya, tetap menyisakan satu hal: memprioritaskan satu tipe informasi untuk semuanya.
“Itulah mengapa kekuasaan begitu menakutkan,” kata Knuth. “Karena kekuasaan mengizinkanmu menerapkan logika kepercayaanmu sendiri.”