Di hari puisi sedunia ini, kami hadirkan puisi cinta dari seseorang yang selalu berada di ujung bibir kita. Mungkin orang ini ialah orang yang telah dibahas berulang-kali kisah hidupnya dan karyanya bertahun-tahun lamanya dielu-elukan. Chairil Anwar, pria Medan yang lahir pada 26 Juni 1922 merupakan maestro yang kita punya. Ia seorang penyair, yang karyanya jadi rujukan semua akademisi maupun praktisi. Ia “Si Binatang Jalang” yang terus memberontak, terus mencipta dari asap-asap rokok yang diisapnya, dari teman-teman yang direpotinya, dari sakit batuk yang menggerogoti paru-parunya. Ialah Chairil Anwar sebagaimana dirinya, bukan deru campur debu. Chairil adalah deru di antara debu. Ia melahirkan karya-karya yang menggebu-gebu hingga yang mendayu-biru, seperti puisi cinta, misalnya.
Chairil Anwar adalah seorang pujangga yang hampir tak pernah luput mendapatkan seorang gadis yang dicintainya. Namun seperti pepatah “sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga”, begitu juga dengan kejatuhan Chairil yang menerima penolakan cinta dari Ida Nasoetion, mahasiswi sastra Universitas Indonesia yang ditemuinya saat bekerja di kantor bahasa bentukan Jepang. Di sinilah Chairil membuncah, hatinya bersemi melihat Ida.
Untuk mengenangnya di hari puisi sedunia ini, mari kita kembali mengenang roman melalui karya pendahulu kita. Merayakannya dengan kembali berkaca pada sang maestro, dalam puisi cinta yang ia buahkan. Mari kita menerima Ajakan dari Chairil Anwar.
Ajakan
Ida/ Menembus sudah caya/ Udara tebal kabut/ Kaca hitam lumut/ Pecah pencar sekarang/ Di ruang legah lapang/ Mari ria lagi/ Tujuh belas tahun kembali/ Bersepeda sama gandengan/ Kita jalani ini jalan
Ria bahagia/ Tak acuh apa-apa/ Gembira-girang/ Biar hujan datang/ Kita mandi-basahkan diri/ Tahu sebentar kering lagi.
– Februari, 1943 dalam buku “Aku Ini Binatang Jalang”
Baca juga: Sajak dan Puisi Itu Beda. Ini Pengertian dan Manfaat dari Membacanya
