Kejadian-kejadian besar yang ada di dunia ini selalu melibatkan informasi palsu di dalamnya. Dahulu di Perang Dunia II, berita palsu disebarkan oleh tentara Nazi untuk mendapatkan simpati dari rakyatnya. Pada 1980-an hingga 2000-an, terdapat mitos dan hoaks yang berlimpah soal HIV/AIDS.

Contoh mitos dan hoaks seputar HIV/AIDS seperti diciptakannya virus tersebut di laboratorium oleh pemerintah. Ada juga yang mengatakan bahwa virus tersebut dapat disembuhkan dengan mengonsumsi susu kambing. Di antara banyak kejadian dan derasnya informasi, tak jarang kita temukan orang-orang pintar, terdidik, dan berpendidikan yang termakan mitos dan hoaks, tak terkecuali di tengah pandemi Covid-19 ini.

Seorang penulis asal Amerika Serikat bernama Kelly Brogan, mempercayai berbagai teori konspirasi seputar Covid-19. Ia lulusan Massachusetts Institute of Technology (masuk dalam 10 besar universitas terbaik di dunia) dan belajar psikiatri di Cornell University. Namun Kelly mengabaikan berbagai bukti Covid-19 yang sudah ditemukan di China dan Italia. Bahkan ia memeprtanyakan teori ilmiah dan mempromosikan ide-ide sains palsu untuk menjelaskan virus ini.

Mengapa orang pintar termakan mitos dan hoaks Covid-19? 

Arus Informasi yang Deras dan Gambar Visualisasi

Setiap hari kita menerima informasi. Saat menerima informasi, tubuh tidak hanya bereaksi di pusat kognisi (pikiran), tetapi juga afeksi (perasaan/emosional). Ketika informasi dicerna oleh kognisi, sisi afeksi kita akan bekerja dengan intuisi yang menentukan apakah informasi tersebut benar atau tidak.

Dalam suatu bacaan, kadang kita temukan gambar yang seolah merupakan gambar faktual dari isi artikel itu sendiri. Seperti menampilkan tokoh, lembaga, objek informasi (misal: gambar virus, UFO, dll). Padahal banyak kasus ditemukan bahwa gambar tersebut sejatinya hanyalah untuk membantu kita memvisualisasikan ide dalam informasi, bukan benar-benar bentuk objek yang sedang dideskripsikan dalam artikel.

Terkait perilaku dengan media sosial, kita perlu memberi jarak pada informasi dengan tidak terlalu melibatkan sisi emosional kita dan memikirkan kembali fakta di balik suatu unggahan informasi itu. Apakah yang mendasari informasi itu? Dugaan? Bukti ilmiah? Jika bukti ilmiah, dari mana sumbernya? Apakah sumber yang kredibel? Lalu bagaimana mengetahui suatu sumber merupakan sumber kredibel? Apakah itu dari institusi resmi atau organisasi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan hukum? Apakah informasi itu mitos atau hoaks? Benar atau tidak? Dan lain-lain.

Baca juga: Bagaimana Tetap Tenang Ketika Informasi Virus Corona Simpang Siur

Asal Membagikan Informasi

Sekali informasi tersebar, maka ia sulit sekali untuk dihentikan. Perilaku membagikan informasi secara asal sudah dilakukan oleh para pelaku propaganda sejak dahulu. Media sosial yang serba instan dapat semakin memperburuk mitos dan hoaks yang beredar.

Ada penelitian menarik dari Gordon Pennycook, seorang peneliti psikologi misinformasi dari University of Regina, Kanada. Ia menemukan peserta penelitiannya dapat mengenali berita palsu sebanyak 25%. Namun, ketika ditanya apakah mereka akan menyebarkan informasi tersebut, 35% peserta menjawab akan menyebarkannya.

Bagaimana bisa? Pikiran mereka menolak, tetapi tetap akan menyebarkannya. Bagi Gordon, orang lebih memikirkan kemungkinan unggahan mereka mendapat apresiasi dari orang lain seperti “like”, “retweet”, dll ketimbang memikirkan kebenaran informasi tersebut. Sekali lagi, pernyataan itu menunjukkan bahwa sisi kognisi (pikiran) kalah dari sisi afeksi (emosional).

Selain itu, banyak orang kerap melemparkan tanggung jawab sebelum membagikan sebuah informasi dengan pernyataan, “maaf sebelumnya saya tak tahu ini benar atau tidak, saya dapat dari grup sebelah”, dll. Pada dasarnya mungkin terdapat niatan seperti: siapa tahu informasinya benar dan akan membantu teman dan pengikut, dan ketika tidak benar, tidak dianggap merugikan. Dugaan seperti ini menjauhkan kita dari kebenaran.

Baca juga: Olahraga di Rumah? Ketahui Mitos-mitos Seputar Olahraga yang Keliru

Mengabaikan Respons

Riset psikologi klasik menunjukkan bahwa beberapa orang sangat rentan mengabaikan respons mendalam mereka tentang informasi. Orang seperti ini cenderung lebih mudah termakan berita palsu.

Peneliti seperti Gordon Pennycook menggunakan alat bernama “cognitive reflection test” atau CRT untuk mengukur kecenderungan mengabaikan respons. Bagaimana cara kerjanya? Jawablah pertanyaan berikut:

“Ayah Emil punya tiga anak. Anak pertama bernama Maret, anak kedua bernama April. Siapakah nama anak ketiga?”

Secara intuitif, banyak yang menjawab Mei. Namun jawaban yang betul adalah Emil.

Untuk sampai pada jawaban yang benar, kita perlu berhenti sejenak untuk mengolah informasi yang kita terima. Dengan cara itu, kita dapat lebih mendalam menganalisis suatu informasi dan menggeser sisi intuitif kita. Dengan menerima cuma-cuma suatu informasi tanpa ditelaah lebih dalam, kita lebih mudah mengalami bias kognitif dan mengubah cara kita menerima informasi dengan hanya sebatas “ya” tanpa harus mengatakan “kenapa”. Jangan-jangan, informasi yang kita terima selama ini merupakan mitos dan hoaks?

Ingatlah, bahwa kebohongan yang diulang-ulang akan menjadi kebenaran.

 

RUJUKAN: BBC

Leave your vote

0 points
Upvote Downvote

Total votes: 0

Upvotes: 0

Upvotes percentage: 0.000000%

Downvotes: 0

Downvotes percentage: 0.000000%

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*

Hey there!

Sign in

Forgot password?

Don't have an account? Register

Close
of

Processing files…